Tuesday, July 8, 2008

PUTUSAN UJI UU PEMILU. KONSTITUSI MEMUAT SYARAT “DOMISILI DI PROVINSI”

Selasa , 01 Juli 2008 17:10:20
PUTUSAN UJI UU PEMILU. KONSTITUSI MEMUAT SYARAT “DOMISILI DI PROVINSI”

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan syarat “domisili di provinsi” untuk calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) UUD 1945, sehingga seharusnya dimuat sebagai rumusan norma yang eksplisit dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 10/2008). Hal tersebut disampaikan MK dalam sidang pengucapan putusan perkara 10/PUU-VI/2008 pada Selasa, (1/7), di Ruang Sidang MK.

“Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional), maka pasal-pasal a quo harus dibaca/ditafsirkan sepanjang memasukkan syarat domisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD,” ucap Ketua MK, Jimly Asshiddiqie.

Lebih lanjut, MK menyatakan bahwa syarat “bukan pengurus dan/atau anggota partai politik” untuk calon anggota DPD bukanlah merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak merupakan syarat untuk menjadi calon anggota DPD yang harus dicantumkan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008.

Perkara tersebut diajukan terkait dengan norma dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008. Pasal-pasal tersebut tidak memuat persyaratan bahwa calon anggota DPD harus berdomisili di provinsi yang bersangkutan (ketiadaan syarat domisili), serta tidak terdapat persyaratan bahwa calon anggota DPD bukan anggota partai politik (ketiadaan syarat non-partai politik).

MK dalam kesempatan tersebut, menyatakan bahwa Pemohon I, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan perorangan anggota DPD (Pemohon II) memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan. Sedangkan perorangan warga negara Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap Pemilihan Umum, parlemen Indonesia, dan penyaluran aspirasi daerah (Pemohon III) dan perorangan yang tinggal di provinsi tertentu (Pemohon IV) tidaklah memiliki kedudukan hukum (legal standing).

Dalam pertimbangan hukum putusan, MK berpendapat bahwa syarat berdomisili di provinsi yang diwakilinya bagi calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada ketentuan Pasal 22C ayat (1) yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum” dan Pasal 22C ayat (2) yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.”

Sehingga, menurut MK, seharusnya norma konstitusi yang bersifat implisit tersebut dicantumkan sebagai norma yang secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 sebagai syarat bagi calon anggota DPD. Sebagai akibatnya, Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008 yang tidak memuat secara eksplisit ketentuan yang demikian, harus dipandang inkonstitusional.

MK juga berpendapat bahwa syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.” Kandungan norma yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 adalah bahwa untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD, perseorangan harus ‘mencalonkan’ dirinya sendiri sebagai peserta Pemilu, bukan dicalonkan oleh Parpol. Menurut MK, hal itu berbeda dengan calon anggota DPR, perseorangan yang ingin menjadi anggota DPR harus dicalonkan oleh Parpol yang merupakan peserta Pemilu [vide Pasal 22E ayat (3) UUD 1945].

Dalam UU 12/2003 dan draf RUU Pemilu 2008 versi Pemerintah yang dijadikan rujukan oleh para Pemohon, juga tidak ada istilah non-Parpol, melainkan hanya bukan pengurus Parpol. Demikian pula, baik dalam pengalaman sejarah praktik di Indonesia pada era Konstitusi RIS 1949 dan era berlakunya kembali UUD 1945 tidak pernah ada syarat non-Parpol bagi keanggotaan Senat RIS dan Utusan Daerah. Sedangkan di berbagai negara lain, sebagai perbandingan, penerapan syarat non-Parpol tersebut juga berbeda-beda dan tidak mutlak harus ada.

“Dengan demikian, syarat non-Parpol bagi calon anggota DPD bukanlah norma konstitusi yang bersifat implisit melekat pada istilah “perseorangan” dalam Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, sehingga juga tidaklah mutlak harus tercantum dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, sebagaimana pernah dicantumkan dalam UU 12/2003, atau berarti bersifat fakultatif,” kata Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar membacakan pertimbangan hukum putusan.

Terkait dengan ketiadaan norma konstitusi yang bersifat implisit melekat dalam suatu pasal konstitusi, yang dalam perkara tersebut adalah syarat domisili di provinsi dan implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) UUD 1945, MK berpendapat bahwa apabila mengacu kepada Pasal 51 ayat (3) huruf b UU MK, memang tidak mungkin untuk diajukan permohonan pengujian. Karena, permohonan yang demikian akan dianggap kabur (obscuur libel), tidak jelas, yang berakibat permohonan tidak dapat diterima sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 ayat (1) UU MK.

Namun demikian, MK juga dapat menyatakan bahwa suatu pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang yang tidak memuat suatu norma konstitusi yang implisit melekat pada suatu pasal konstitusi yang seharusnya diderivasi secara eksplisit dalam rumusan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang, dapat dinyatakan sebagai “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional) atau “inkonstitusional bersyarat” (conditionally unconstitutional).

Akhirnya, MK berpendapat bahwa Pasal 12 huruf c dan Pasal 67 UU 10/2008 adalah “konstitusional bersyarat” (conditionally constitutional), yang berarti bahwa Pasal 12 huruf c dan Pasal 67 tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi.

“Menyatakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi yang akan diwakili,” ucap Ketua MK membacakan putusan MK. (Luthfi Widagdo Eddyono)

No comments: