Sunday, July 20, 2008

MEMILAH OPINI DAN FITNAH

MEMILAH OPINI DAN FITNAH

sumber: situs DPW pks-jogjakarta.

pks-jogja.org | Opini | MIS | 2008-07-11 | Sudah dibaca : 44 kali

MEMILAH OPINI DAN FITNAH
Oleh: M. Ilyas Sunnah*)


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990, hlm 682), opini adalah pendapat, pikiran atau pendirian. Opini dan media massa kini merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Antara keduanya sudah terbiasa bersenyawa hampir sepanjang usia. Media massa merupakan sarana untuk mengejawantahkan opini ke hadapan publiknya. Sementara, opini akhirnya terbiasa menjadi salah satu corak isi setiap media massa.
Pada saat ini, opini di media massa sangat dibutuhkan oleh hampir semua kelompok masyarakat. Oleh karena itu, para tokoh, lembaga, ormas, parpol dan kelempok masyarakat manapun yang ingin membangun citra diri dan terpublikasikan kinerjanya, tidak ketinggalan selalu berupaya memanfaatkan opini di media massa ini. Sayangnya, pada perkembangannya, banyak pihak ternyata tidak membangun opini dengan cara yang benar tetapi mereka malah terjerumus melakukan fitnah yang tak terpuji di balik opini-opini yang dimunculkannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990, hlm. 243) fitnah adalah perkataan yang bermaksud menjelekkan orang seperti menodai nama baik, dan merugikan kehormatan orang/lembaga. Dari definisi ini, pada umumnya fitnah digulirkan dengan sengaja untuk tujuan-tujuan jahat si pembuat perkataan atau pelontarnya.
Dalam ajaran Islam nilai opini dan fitnah sangat bersebrangan. Dalam ajaran Islam, opini (pendapat) sangat dihargai, sehingga perbedaan pendapat yang terjadi malah dinilai sebagai rakhmat. Sementara, fitnah dikategorikan sebagai perbuatan yang keji dan dosa yang besar. Fitnah malah dinilai sebagai perbuatan yang lebih kejam dari pembunuhan. Betapa tidak, banyak terbukti fitnah dapat menjadi sarana pencintraburukkan bahkan pembunuhan karakter seseorang atau lembaga.
Dalam praktek berkomunikasi di media massa kadang antara opini dan fitnah itu menjadi rancu, berimpit, dan sulit dibedakan. Jika dicermati, sebenarnya kita dapat memilah antara opini dan fitnah dengan kerangka yang sederhana. Pada umumnya, opini selalu berpangkal pada pendapat atau pemikiran penulis atau pelontar opini. Jika berkaitan dengan fakta atau data maka opini itu pasti dapat diuji tingkat kesahihannya dan dapat dirunut logika penalarannya. Sementara, fitnah biasanya berangkat dari praduga (dhon) atau kecurigaan yang dikembangkan sehingga sering “keluar” dari fakta yang sebenarnya. Fitnah sering muncul karena didorong oleh penyakit iri dengki yang berkobar di hati si pelontar fitnah sehingga biasanya fitnah itu digulirkan tanpa ada klarifikasi terlebih dahulu kepada pihak yang terkait.
Beberapa contoh opini dan fitnah di media massa sering kita dapatkan dengan mudah. Pada majalah Gatra edisi menjelang Pemilu 2004 (28 Februari 2004), diberitakan bahwa LP2SI Al-Haramain yang dikelola oleh Hidayat Nur Wahid, Presiden PKS waktu itu telah dimasukkan ke daftar organisasi teroris berdasar Resolusi Nomor 1267 Dewan Keamanan PBB, 26 Februari 2004. Pencantuman ini terjadi atas masukan Pemerintah Amerika Serikat karena diduga yayasan tersebut merupakan cabang Al-Haramain Riyadh, Arab Saudi yang dituduh mendanai berbagai kegiatan teroris di Indonesia. Padalah, yayasan yang bergerak di bidang pelayanan pesantren dan studi Islam ini lebih dulu didirikan dari pada Al-Haranian Riyadh dan tidak pernah mendapat kucuran dana sepeser pun dari yayasan sosial tersebut. Sementara, Yayasan Al-Haramain Al-Khairiyah yang berkantor di Duren Sawit, Jakarta Timur yang sejak terjadi peristiwa Penghancuran WTC berubah nama menjadi Al-Manahil dan memang menginduk pada Al-Haramain Riyadh tidak dimasukkannya. Hal ini sempat menjadi opini besar di berbagai media massa pada waktu itu.
Setelah ada upaya sungguh-sungguh dari Hidayat Nur Wahid untuk mengklarifikasikan ke Duta Besar AS, Ralph Boyce masalah ini dapat dijernihkan, karena akhirnya pihak Amarika menyadari bahwa tuduhannya salah alamat. Perkembangan berikutnya, LP2SI Al-Kharamain pimpinan Hidayat Nur Wahid itu akhirnya dicorek dari daftar organisasi teroris Dewan Keamanan PBB tersebut.
Fitnah pencantuman LP2SI Al-Haramain dalam daftar organisasi teroris terjadi karena pihak Amerika Serikat hanya menyandarkan pada “kesaksian” Umar Al-Faruk yang menyatakan bahwa Yayasan Al-Haramain Jakarta turut mengucurkan dana pada konflik yang berbau SARA di Maluku. Sementara, Mabes Polri dalam penyelidikan terhadap LP2SI Al-Haramain tidak menemukan bukti-bukti aliran dana yang dicurigai tersebut. Analisis yang berkembang pada waktu itu, kemungkinan hal ini terjadi lebih dinuansai motif politik, karena di dalamnya terkait nama Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, M.A., Presiden Partai Keadilan Sejahtera yang ketika itu selalu merajai berbagai jajak pendapat Capres Unggulan versi SMS sehingga doktor lulusan Universitas Islam Madinah ini merupakan tokoh politik yang patut diperhitungkan (Gatra, 12 Februari 2004, hlm. 27)
Kasus lain dapat kita cermati pada tabloid politik Podium edisi 5-20 April 2007/Tahun II. Pada cover tabloid edisi ini, ditulis besar-besar judul “PKS Kaki Tangan Amerika”. Tentu hal ini mengherankan siapa pun yang membacanya. Apalagi bagi pembaca yang mengetahui proses awal dan mengikuti perkembangan partai dakwah ini. Pada bahasan utama edisi ini, tabloid terbitan CV Media Lintas Transindo ini memberitakan bahwa pada 21 Maret 2007 Fraksi PKS DPR RI bekerjasama dengan The Asia Foundation menggelar diskusi publik dengan tema “Good Guvernance and Public Servis” dengan menghadirkan pembicara Nurmahmudi Ismail, Walikota Depok, Jawa Barat dan Jhon S. Brenner, walikota Pennysylvania, AS.
Acara yang diselenggarakan di KK II Room DPR RI ini dalam tabloid itu dianggap sebagai bukti nyata bahwa PKS memang kepanjangan tangan dari AS. Bahkan ditulis juga, sejak awal mula berdirinya PK(S) yang dibidani Nurmahmudi Ismail ini merupakan partai yang dilahirkan Amerika (hlm. 4). Pada uraian berikutnya, digiringlah pembaca dengan data-data yang tentu berdasarkan praduga (dhon) tanpa proses klarifikasi ke pihak yang terkait sehingga seolah-olah kesimpulan dari wartawan tabloid itu benar adanya. Lebih menggelikan lagi, pada halaman 5 tabloid ini dipasang foto massa PKS berdemo besar-besaran menentang infasi AS ke Iraq dan ditulis di bawahnya “Demo Anti Amerika hanya kamuflase belaka”. Begitulah, kadang fitnah dibungkus rapi dengan penyesatan informasi yang bertubi-tubi sehingga seolah “isu” itu menjadi fakta kebenaran.
Jika dicermati dari format acaranya saja, sebenarnya sudah dapat ditengarai bahwa fitnah yang ditulis dalam tabloid ini terlalu naif. Jika dianggap PKS kaki tangan AS tentu saja tema yang diangkat dalam diskusi publik itu mencerminkan kepentingan AS, misalnya pensikapan terhadap terorisme, atau pengembangan gerakan Islam nonpolitis, dan sejenisnya. Akan tetapi, diskusi publik FPKS itu mengangkat tema “Pemerintahan yang Baik dan Pelayanan Publik”. Tema ini justru mendukung visi PKS selama ini yang bersyiar “partai bersih dan peduli” atau “menjadi partai dakwah yang kokoh untuk memimpin dan melayani bangsa”. Dari logika tema ini, logisnya AS-lah yang merupakan kaki tangan PKS (bukan PKS kaki tangan AS). Belum lagi, dari sisi penjelasan asal mula PK(S) yang hanya didasarkan pada fakta bahwa Nur Mahmudi Ismail, Presiden PK pertama adalah doktor ahli pangan lulusan Amerika Serikat.
Menurut para peneliti, di antaranya Yon Machmudi, PK (PKS) merupakan metamorfosa dari gerakan tarbiyah yang banyak mendapat pengaruh dan inspirasi dari gerakan Islam Ikhwanul Muslimin di Mesir. Kemunculan Gerakan Tarbiyah dalam ranah politik ini karena tuntutan agenda perjuanganya menghajatkan melakukan ishahul hukumah (reformasi pemerintahan). Sementara, kondisi krisis ekonomi dan sosial politik di Indonesia pada waktu itu memicu gerakan Islam ini untuk turut berperan menghadirkan berbagai solusi. Demi membangun “opini yang dikehendaki”, fakta-fakta historis ini ternyata disembunyikan begitu saja oleh penulis tabloid Podium tersebut. Bisa jadi fitnah ini terjadi karena ketidaktahuan terhadap perkembangan gerakan Islam kontemporer. Atau mungkin juga karena ada tujuan-tujuan tertentu di balik tulisan itu mengingat media ini merupakan tabloid politik. Dalam hal ini, pembaca media ini tentu dapat menangkap “udang di balik batu”-nya
Pada kasus yang lain lagi, koran Sosok terbitan GNT-PPB (Gerakan Nasional Tidak Memilih Politisi Busuk) edisi ketiga, 1 April 2004, dua kader PKS DIY, Suprih Hidayat dan Wajdi Rahman dimasukkan dalam daftar politisi bermasalah, dikarenakan diberitakan menyetujui dana purna tugas (DPT) untuk anggota Dewan. Padahal hasil pengecekan DPW PKS DIY, Suprih Hidayat pada Sidang DPRD Slamen pada 29 Januari 2004 secara tegas menolak DPT dan penolakan tersebut terdokumentasi dalam Risalah Sidang DPRD Sleman tanggal tersebut. Sementara, Wajdi Rahman yang ditulis menyetujuai dana purna tugas (DPT) dalam APBD 2004 DPRD Kota Jogjakarta sebesar 75 juta rupiah. Padahal, Wajdi Rahman juga menolak penganggaran DPT tersebut. Hal ini, bahkan kemudian terbukti, pada proses pengadilan, bahwa Wajdi Rahman merupakan satu-satunya anggota DPRD Kota Yogyakarta yang tidak terjerat hukum kasus DPT tersebut.
Kasus tersebut, pada waktu itu, membuat DPW PKS DIY mensomasi pihak penerbit koran Sosok, karena telah memencemarkan nama pribadi kader maupuninstitusi PKS yang memiliki semboyan: bersih dan peduli. Sayangnya dalam proses klarifikasi ke pihak penerbit koran tersebut sulit ditemuai dan cenderung menghindar sehingga dikecam oleh banyak pihak sebagai bersikap tidak gentle, menyebarkan informasi yang menyesatkan dan cenderrung fitnah (Radhar Jogja, 3 April 2008). Tim Advokasi PKS DIY yang dikomandoi Amin Fahruddin, S.H. berhasil melacak samapai ke rumah kontrakan awak koran tersebut. Ternyata, koran tersebut didominasi oleh oknum-oknum yang tidak profesional, yang secara individu berideologi lain serta telah memusuhi kader-kader kader PKS sejak masih menjadi aktivis gerakan mahaiswa di kampusnya.
Dari uraian ini, dalam kenyataannya di lapangan, peringatan Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid menanggapi dicanangkannya kembali Gerakan Nasional Anti Politisi Busuk menjadi sangat relevan. Gerakan ini memang harus didukung, akan tetapi para LSM penggeraknya jangan gegabah menyebut nama, apalagi cuma menyebar gosip dan fitnah. Sebab kalau itu terjadi, maka Hidayat khawatir akan ada pembusukkan sistem demokrasi'' (Jawapos, 24 Mei 2008).
Mensikapi opini dan fitnah di media massa seperti di atas, tampaknya dituntut harus senantiasa arif dan bijaksana. Langkah awal, seyogyanya kita berupaya memilah apakah informasi itu merupakan opini ataukah fitnah. Selanjutnya, kita harus dapat mencermati fakta dan data yang berkaitan denganya agar tidak gampang termakan fitnah. Oleh karena itu, kebiasaan tabayun (klarifikasi) kepada sumber informasi yang paling berkompeten atau yang berkaitan langsung harus dibudayakan. Hal ini mengingat, dari sudut kemanusiaan, fitnah adalah kejahatan HAM yang lebih kejam dari pembunuhan. Sedang dari sudut agama, Allah sangat mengutuk pelontar fitnah dan orang-orang yang turut menyebarkannya. Bahkan, di akhirat kelak diancam harus menanggung dosa dirinya dan dosa orang-orang yang mengikutinya. Na`udzubillah.

*) M. Ilyas Sunnah, S.S., Wasek III/Biro Pusat Informasi DPW PKS DIY, dan Mudir Pesantren Kalong Sunan Kalicode Yogyakarta

No comments: