Monday, April 6, 2009

HARAMKAH GOLPUT?

sumber: http://riaupos.com/main/index.php?mib=berita.detail&id=6267

Senin, 06 April 2009 , 09:03:00
Haramkah Golput?. Oleh Prof Alaidin Koto

KETIKA Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haramnya Golput, muncul protes dari berbagai kalangan yang tidak setuju dengan fatwa tersebut. Ada yang mengatakan, MUI anti demokrasi, memasuki wilayah yang bukan otoritasnya, tidak bijak, dan bahkan ada yang mencurigai lembaga ulama tertinggi di Indonesia ini telah menjadi alat kelompok tertentu, termasuk alat pemerintah.

Namun, salahkah kecurigaan itu muncul ketika masyarakat melihat adanya sesuatu indikasi tertentu yang terdapat ditubuh institusi ini untuk dijadikan alasan mencurigainya?

Artinya, masyarakat tidak dapat disalahkan begitu saja, bila mereka memang menemukan indikasi itu. Ketidakpercayaan mereka bukan karena prejudice, tetapi berdasarkan bukti, sehingga masyarakat melihat lembaga ini tidak lagi seperti apa adanya di era 80-an, ketika ia dipimpin oleh ulama-ulama kredibel semisal Buya Hamka dan lainnya.

Kini, terlepas dari persoalan curiga-mencurigai seperti di atas, dan mengingat Pemilu sudah semakin dekat, perlu kita kembali mengkaji ulang, apakah betul Golput itu haram? Kalau ya, dari aspek mana sajakah keharamannya itu? Sehingga masyarakat pun tidak selalu berada dalam kebimbangan.

Dari perspektif ilmu hukum Islam (fikih), memberikan suara dalam Pemilu termasuk perbuatan dalam lingkup muamalah. Fuqaha sepakat bahwa hukum asal dari perkara muamalah ini adalah mubah, salah satu bentuk dari hukum taklifi yang memberi keleluasaan kepada orang-orang mukallaf untuk memilih antara melakukan atau tidak.

Di sini tidak ada paksaan dari syar’i (Allah dan Rasul) kepada manusia untuk memilih atau tidak memilih. Jadi, ringkasnya, dilihat dari segi zat atau perbuatannya itu sendiri, hukum asal dari Golput adalah mubah saja.

Namun hukum ini bisa berubah ketika ia keluar dari sifat asalnya, seperti tidak ikut memilih karena ada niat menggagalkan Pemilu, atau niat-niat lain yang bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Islam.

Ketika masuk ke dalam ranah yang disebut terakhir, maka Golput menjadi haram hukumnya. Namun keharaman di sini bukan lagi karena zatnya (haram lizatihi), tetapi karena sifatnya yang menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara di masa akan datang (haram lighairih).

Hal paling substansial yang agaknya perlu dipikirkan dari wacana kegolputan ini adalah persoalan kepemimpinan dan kelanjutan umur bangsa dan negara yang telah didirikan dengan darah dan air mata para pejuang.

Golput tidak hanya sekedar tidak ikut memilih, tetapi bisa berakibat kepada sikap memberikan laluan kepada orang-orang yang tidak pantas tampil menjadi pemimpin.

Nabi berpesan: Para pemimpin kamu adalah para penolongmu. Oleh sebab itu, perhatikanlah siapa yang akan engkau jadikan sebagai penolongmu. Dalam hadis lain, Para pemimpin kamu adalah penolong-penolongmu di hadapan Allah. Oleh sebab itu, dahulukanlah orang-orang yang terbaik di antara kamu. (Hadis Mutawatir Makna).

Hadis di atas memiliki makna yang sangat dalam. Karena, sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai sebuah proses sosial (social process) Pemilu adalah salah satu bentuk kompetisi. Di manapun dan kapanpun, kompetisi akan menghasilkan menang atau kalah. Kecuali itu, tidak semua orang yang ikut dalam kompetisi adalah orang-orang baik.

Beragam orang dengan beragam watak dan perangai akan berlomba untuk meraih kemenangan tersebut. Dalam pada itu, manusia punya kecederungan untuk dekat atau memilih orang-orang yang dekat atau seperangai dengannya. Nabi mengingatkan bahwa orang baik akan mengikuti yang terbaik di antara mereka, sementara orang yang durhaka akan mengikuti orang yang durhaka pula.

Dari perspektif ini saja bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila orang-orang baik tidak ikut memberikan suara dalam Pemilu untuk memilih orang-orang yang baik pula sebagai pemimpin.

Ketidakikutan orang baik-baik ini tentu memberi laluan kepada kelompok lain yang tidak baik untuk meraih kemenangan dan akhirnya tampil sebagai pemimpin bangsa.

Di sini, lagi-lagi Nabi mengingatkan bahwa Setelah masa ku, kalian akan dipimpin oleh berbagai pemimpin. Pemimpin yang baik dan cakap akan memimpin kalian dengan baik dan cakap pula, sementara pemimpin yang buruk dan jahat akan memimpin kalian dengan buruk dan jahat pula. (HR Abu Hurairah)

Lalu, di mana letak haramnya Golput itu? Seperti dikatakan di atas, keharaman Golput bukan karena zatnya, tetapi karena faktor lain yang akan menjadi ekses dari Golput itu sendiri di kemudian hari.

Karena, pada umumnya, Golput adalah orang-orang baik yang merasa kecewa dengan para pemimpin masa lalu yang suka berbohong dan senantiasa mementingkan diri dan kelompoknya dibanding kepentingan rakyat.

Mereka tidak ikut memilih bukan karena ada niat buruk, melainkan karena kecewa. Namun bila orang-orang baik tidak ikut memilih, maka tinggallah orang-orang tidak baik yang akan memilih orang-orang yang tidak baik pula. Itulah yang akan terpilih, dan itu pulalah yang akan jadi pemimpin.

Jadi, fatwa keharaman Golput tidak berarti menentang hak demokrasi, tetapi lebih bertumpu kepada upaya mencegah munculnya bahaya jangka panjang yang mungkin terjadi akibat tidak ikutnya orang-orang baik memilih yang baik, sehingga negeri dipimpin oleh orang-orang yang tidak baik.

Memang, tidak ada dalil yang mengharuskan hukum ini difatwakan, sehingga mengundang kecurigaan, tetapi sebagai sebuah upaya pencegahan, fatwa itu tidak pula perlu diperdebatkan terus, sehingga dapat pula memberi peluang kepada orang-orang yang tidak suka kepada Islam untuk menghembuskan perpecahan semakin dalam di tubuh umat Islam sendiri.

Ada yang berkomentar bahwa persoalannya bukan tidak mau memilih, tetapi karena tidak terlihat ada lagi Caleg yang benar-benar pantas untuk dipilih. Maka, biar saja tidak ada yang dipilih.

Komentar seperti itu tentu ada dampaknya juga. Karena bila semua tidak memilih, maka sudah barang tentu tidak ada pemimpin yang legitimej untuk memimpin negeri ini.

Itu sama saja artinya hidup tanpa pemimpin. Ini bahaya. Karena tidak ada pemimpin sama artinya tidak ada yang bertanggungjawab menegakkan hukum, atau bahkan tidak ada hukum.

Bukankah ini yang disebut dengan chaos? 60 tahun berada di bawah pemimimpin yang zalim, kata Ibn Taymiyah, lebih baik dari semalam tanpa pemimpin.

Maka, sempena Pemilu tahun ini, ada baiknya kita renungi sebuah kaedah hukum Islam yang berbunyi, bila tidak bisa didapat semuanya, jangan ditinggalkan semuanya. Ma la judraku kulluh, la yutraku kulluh. Pilihlah yang lebih kurang jeleknya dari semua jelek yang ada.***

Prof Dr Alaidin Koto, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Pekanbaru.

Thursday, April 2, 2009

Partisipasi Politik Umat

Jum'at, 03 April 2009 , 07:50:00
sumber: http://riaupos.com/main/index.php?mib=berita.detail&id=5905

Partisipasi Politik Umat di Pemilu.

Memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan hak warga negara. Sebagai hak, maka hukum dasar penggunaannya adalah mubah, artinya boleh digunakan dan boleh juga tidak. Hal ini sejalan dengan kaidah umum dalam bermuamalah “al-ashlu fil asyya‘i al-ibahah, hatta yadullu al-dalil ‘ala al-tahrim” (Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya).

Akan tetapi kaidah ushul fikih ini tidak berhenti pada mubah “tok” saja, bahkan apabila ada dalil atau `ilat lain, maka hukum asal dapat berubah. Sebagaimana halnya dengan hukum asal makan adalah mubah, namun hukumnya dapat bergeser menjadi wajib, haram, sunnah atau makruh, tergantung konteks yang melingkarinya.

Makan dapat menjadi wajib apabila tanpa makan seseorang akan mengalami sakit, bahkan mengancam jiwanya. Maka makan diharamkan bagi seseorang yang berpuasa. Dalam kondisi seperti ini berlaku kaidah “Penetapan hukum tergantung ada tidaknya `illat”.

Di tengah pemerintahan yang otoriter dan despotik, di mana pelaksanaan Pemilu hanya bersifat artifisial serta simbolik semata, maka “tidak memilih” (Golput) sebagai protes dan pengingkaran atas perilaku penguasa yang despotik, bisa dihukumi sunnah dan dianjurkan.

Hal ini apabila upaya perbaikan sistem tidak dapat dilakukan kecuali hanya dengan jalan Golput. Barangkali inilah maksud hadits Nabi, Barangsiapa melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan (kekuasaaan), apabila tidak sanggup dengan lisan, dan bila tidak sanggup juga dengan hati dan itu adalah selemah-lemah iman.

Mengapa Memilih
Pemilu adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa. Oleh karena itu, pelaksanaan Pemilu menjadi hal yang urgen karena terkait dengan sistem penegakan kekuasaan (‘aqd al-imamah). Tanpa melalui jalan Pemilu, kekuasaan pemerintahan tidak dapat ditegakkan. Negara tanpa pemerintahan akan kacau bahkan anarkisme.

Dengan demikian, Pemilu menjadi wajib karena menjadi instrumen atau sarana untuk menegakkan hal yang wajib, yakni pemilihan pemimpin.
Menurut kaidah ushul fiqh, “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu itu hukumnya juga wajib)”.

Ini berarti, apabila penegakan kekuasaan pemerintahan tergantung dengan pelaksanaan Pemilu maka partispiasi dalam Pemilu hukumnya juga wajib. Hal ini tentu tidak dimaksudkan bagi mereka yang uzur (berhalangan) dan atau secara administrasi tidak terdaftar atau terpanggil sebagai pemilih.

Berpartisipasi dalam Pemilu harus pula dengan kecerdasan tertentu yang oleh Al-Mawardi (dalam Ahkam al-sulthaniyyah) disebutkan Pertama, memiliki sifat adil, kedua, memiliki pengetahuan yang cukup tentang calon pemimpin yang akan dipilih, ketiga, memiliki pandangan dan kearifan dalam menentukan pilihan.

Pemilih yang cerdas pasti akan menentukan pilihannya kepada calon pemimpin yang beriman dan bertaqwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabliqh), mempunyai kemampuan (fathanah), dan memperjuangkan kemaslahatan umum.

Singkat kata, pilihlah pemimpin yang takut kepada Allah dan kasih sayang terhadap rakyatnya, pastilah ia akan berempati untuk mengemban amar ma‘ruf nahi munkar.

Oleh karena itu, apabila di antara calon pemimpin terdapat calon-calon yang memenuhi syarat, juga ada calon yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan yang disebutkan di atas, maka wajib memilih yang dianggap memenuhi syarat.

Apabila tidak, maka terpilihlah mereka yang tidak memenuhi syarat itu, dan dalam keadaan seperti ini pasti menimbulkan kemudaratan. Menurut kaidah ushul fiqh, “Mencegah kerusakan lebih didahulukan dari mengambil kemaslatahan”.

Hadits Nabi, “Baragsiapa mengangkat seseorang untuk mengurus perkara kaum Muslimin, lalu mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang lain yang berkompeten dari yang diangkat, maka dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya”. Wallahu`alam.***


Prof Dr H Mahdini MA, Ketua Umum MUI Riau.